Kalau Tuhan Bisa Dibante, Pasti Dibantenya
Catatan: Ari Sisworo SSos, mantan wartawan, staf di Dinas Kominfostan Deli Serdang
RUBIS.ID, DELI SERDANG - Meski pekerjaan yang digeluti sekarang tidak lagi di dunia media, tapi rasanya masih layak dan patut bagi saya untuk mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional, 9 Februari 2023.
Empat belas tahun saya bergelut di dunia liputan dan tulis menulis. Masih seumur Alpukat (jagung terlalu mainstream). Sejak 2008, sesaat setelah selesai studi S1 sampai pertengahan 2022.
Dari satu media ke media lain. Namun yang paling lama di Harian Sumut Pos, Grup Jawa Pos. Sekitar empat tahun. Dan di koran kriminal, Metro 24 Jam. Enam atau tujuh tahun.
Selebihnya, sekadar numpang lewat. Ada yang setahun. Delapan bulan. Dua bulan juga ada. Yang satu hari pun ada. Di grup Analisa. Aplaus. Pernah buat koran sendiri dengan kawan satu almamater (eks Posmetro Medan). Mengelola media online. Dan lainnyalah.
Kenapa tak bisa berlama-lama? Karena beda visi dan misi. Selalu bertolak belakang dengan idealisme yang jadi pegangan ketika itu.
Pada pertengan 2021 lalu, pernah bertemu dua senior wartawan di Cadika Pramuka Medan. Di Medan Johor. Salah satunya mantan koordinator liputan di Sumut Pos, satu lagi senior yang sama-sama bertugas di DPRD dan Pemko Medan.
Dalam perbincangan kami bertiga itu, mantan koordinator liputan menyarankan agar saya berpikir lebih pragmatis. "Ngapainlah dibante-bante pejabat itu (kritik). Kalau bisa bekawan, kan lebih bagus. Kalau kita berhubungan baik, suatu saat kita kan bisa dibantunya," sarannya.
Teman senior satu lagi langsung menimpali. "Geram kali aku sama dia (saya) ini dulu. Kalau Tuhan bisa dibante, pasti dibantenya ini. Semuanya mau dibantenya," timpalnya.
Saya cuma mesam-mesem. Ada rasa yang bercampur. Tapi memang, tak saya mungkiri. Dulu banyak sok patennya. Yang ada di otak saya, kalau ada pejabat yang korupsi, dia harus dipenjara. Gol kata orang kebanyakan. Harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum. Bagaimana berita pejabat yang korupsi itu terus dibuat, digiring sampai diproses hukum. Dan inkraht. Tak laku uang pejabat itu sama saya. Sombong ya? Terserahlah. Itulah saya. Dulu.
Saya memang gemar dengan hal-hal berbau kasus korupsi. Gandrung bahkan.
Tapi ternyata, visi dan misi itu kerap bertentangan dengan kepentingan media - oknum di dalamnya -. Inilah yang selalu menimbulkan friksi. Konflik. Bahkan antara saya dengan jajaran redaksi. Yang pada akhirnya, saya 'dipaksa' untuk mengundurkan diri.
Bersama gubernur di lift kantor gubernur dari lantai 1 sampai 9, pernah. Berdua saja. Sesampainya di lantai 9 mau naik ke lantai 10 diajak ke ruang kerjanya, pernah. Namun, saya undur diri. Sampai depan pintu ruangannya, saya balik kanan. Takut.
Disuruh jumpai di rumah dinas. Sendirian. Juga pernah. Tapi saya tak datang. Alasan banyak proyeksi. Apa mungkin saat itu mau ditawari jadi PNS ya?
Dipanggil Wali Kota Medan, pernah. Di tengah kerumunan wartawan di depan ruang kerjanya, tapi hanya saya yang dipanggil untuk masuk. "Nggot (saya kerap dipanggil Jenggot), masuk. Nggot!" panggil Wali Kota Medan kala itu.
Saya ngeluyur saja. Pura-pura tidak tahu. "Nggot, dipanggil Pak Wali kau itu," ucap teman saya sesama wartawan.
"Nggak ada ah, salah dengar Abang," jawab saya spontan.
Kepala dinas memberi amplop juga pernah. Cukup tebal amplop itu. Setelah keluar dari ruangannya, amplop itu saya berikan kepada stafnya.
"Nanti saya dimarahi bapak Bang. Gak usah Bang," kata staf itu.
"Gak papa, nanti saya SMS kadis, biar abang gak dimarahi," jawab saya.
Yang begini-begini sering. Masih banyak lagi. Ada juga kepala dinas ngasihnya melalui staf melalui teman fotografer. "Ikhlaskan lek kalau amplop ini kita balikkan? Pulangkanlah," kata saya kepada teman fotografer yang satu kantor.
Ditawari kerja di bank milik pemerintah, pernah juga. Waktu di harian lokal Medan. Awalnya, saya memberitakan kasus di bank itu. Salah satu direkturnya.
Cerita punya cerita, sudah terjadi perdamaian. Saya telepon salah seorang bagian keuangan media itu. Jawabannya plintat-plintut.
Kemudian, saya telepon humas bank itu. "Kok kayak gitu kelen mainnya. Kelen pikir yang punya datanya itu medianya?" ucapku dengan nada tinggi.
Setelah berapa hari, saya ditelepon humas bank itu. Dipertemukanlah saya dengan dedengkot-dedengkot wartawan yang bertugas di situ. "Udahlah, bekawan aja. Berapalah angkanya?" tanya pentolan wartawan itu.
Tak semudah itu Ferguso. Tak saya jawab. Saya izin pamit. Saya keluar dari salah satu ruangan di lantai 3 bank itu. Rupa-rupanya, humas bank itu membuntuti saya.
Kami kembali bertemu di lobi bank. Di bagian luar, mengarah ke parkiran. "Berapa gajimu Ri di sana (media lokal tempat saya bekerja)? Di sini ajalah, nanti di bagian humas. Gajinya kan lebih besar. Sama Abang," pintanya.
"Nantilah Bang, kupikirkan dulu," jawab saya singkat.
"Kabari secepatnya ya?" tanyanya lagi. "Oke Bang," jawab saya.
Sambil berjalan ke area parkir, saya berpikir. Mulai goyah. Saya teringat dengan salah seorang senior. Dosen saya waktu di S1. Dosen saya juga di pascasarjana sekarang. Saya telepon beliau. Saya ceritakan kronologisnya. "Tanya sama dia (humas bank), sebagai apa di situ. Kalau jadi pegawai, terima aja. Kalau pake kontrak-kontrakan, gak usah. Tinggalkan aja," saran beliau.
Saya telepon balik humas bank itu. "Statusku apa Bang kalau aku mau kerja di situ? Kalau cuma kontrak, gak lah," tanya saya to the point.
"Untuk sementara kontrak dulu Ri, nanti ada pengangkatan. Abang usahakan (jadi pegawai)," bujuknya.
"Udah Bang, gak usah. Aman. Gak papa Bang," kata saya sambil menutup telepon.
Di institusi penegak hukum juga ada. Secuil kisah. Sibuk membante, ujung-ujungnya disuruh berhenti menulis beritanya. Besoknya, pimpinan tertinggi penegak hukum itu datang ke kantor. Ah, sudahlah.
Pindah media juga begitu. Di institusi penegak hukum lainnya. Baru konfirmasi, malamnya owner medianya menghubungi saya. "Udahlah, tak usah dibuat beritanya. Kawan kita itu," kata beliau yang sekarang petinggi salah satu partai politik dan korannya sudah tutup.
Karena tradisi bante membante ini juga, saya jadi sering menerima telepon. Dari orang tak dikenal. Kata-kata si penelepon itu begitu syahdu. Sedikit membuat bulu kudu bergidik.
Ini sekelumit pengalaman yang sangat membekas dalam ingatan. Empat belas tahun yang tak punya apa-apa. Kecuali sepeda motor yang angsurannya dibayar murni dari gaji yang diterima dari kantor. Itupun hilang diembat maling di parkiran belakang Pengadilan Negeri Medan. Sama beberapa unit handphone, yang sekarang sudah tak tampak lagi fisiknya.
Masih banyak kisah-kisah lainnya. Tapi cukuplah.
Empat belas tahun yang terasa begitu singkat. Ini saya ceritakan, karena saya tak lagi berkecimpug di dunia itu. Cukuplah. Sekadar berbagi pengalaman.
Pengalaman-pengalaman di dunia jurnalistik yang tak terbantahkan telah memberi pengalaman luar biasa bagi saya.
Kembali ke percakapan saya dengan mantan koordinator liputan dan senior wartawan di Cadika Pramuka, Medan Johor.
"Gaklah Bang. Itu kan dulu. Sekarang gak gitu-gitu kali. Udah beruban rambutku Bang. Mau yang lurus-lurus aja sekarang," ucap saya sambil cengegesan kala itu.
Ucapan ini rupanya doa. Perlahan namun pasti, ada saja jalan untuk beralih ke pekerjaan lain. Berniaga. Walau harus jungkir balik.
Sampai pada akhirnya, di jelang-jelang akhir tahun 2021 lalu, ada peluang bekerja di salah satu dinas. Kebetulan lagi, masih berhubungan dengan kemampuan menulis saya yang alakadarnya ini.
Langsung saja saya caplok. Mengikuti rutinitas kantoran yang sebetulnya agak berat. Soalnya, saya susah bangun pagi. Namun, seiring berjalannya waktu, itu bisa dijalani sampai saat ini.
Sekarang, tinggal melengkapi sedikit persyaratan untuk bisa mendapat posisi lebih baik. Dengan tetap mencantolkan cita-cita dan doa, mudah-mudahan bisa jadi pengajar.
Sekali lagi, Selamat Hari Pers Nasional.
Semoga bisa melahirkan jurnalis-jurnalis andal dan profesional.
Semoga kesejahteraan wartawan bisa terjamin. Tapi bukan karena nanduk pejabat dan tumin alias minta-minta ya.
Pers hebat, bangsa kuat, ekonomi mencuat!
Komentar